Minggu, 19 Januari 2014

INOVASI DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM


Judul Buku : Guru Besar Bicara : Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam
Penulis        : Prof. Drs. H. Ahmad Ludjito, dkk.
Editor         : Muntholi’ah, Abdul Rohman, M. Rikza Chamami
Penerbit      : RaSAIL Media Group Semarang
Tahun terbit : 2010
Tebal Buku : xx + 356 halaman
Resensator  : Wardah Ainur Rizqi



Pendidikan Islam merupakan nama salah satu ilmu keislaman di bidang pendidikan, atau ilmu pendidikan di bidang agama Islam, yang menjadi salah satu kurikulum di Fakultas Tarbiyah (pendidikan Islam. Pendidkian agama islam juga merupakan salah satu bidang studi di semua jenis dan pendidikan sekolah (kecuali perguruan tinggi) di Indonaesia. Sekarang ini, pendidikan agama di Indonesia baik secara legal, maupun konstitusional maupun filosofikal telah mapan, tentu cukup member harapan yang besar bagi kita akan partisipasinya yang aktif dalam pembentukan pribadi bangsa. Titik tolak keberagamaan manusia adalah meyakini dan mempercayai sepenuhnya tentang kebenaran agama yang dipilihnya, dengan Ketuhanan sebagai intinya. Dalam tujuan pendidikan nasional, keimanan dan ketaqwaan juga dijadikan cirri utama kualitas manusia Indonesia yang akan dicapai oleh pendidikan, disamping ciri-ciri kualitas yang lain.
Dijelaskan dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Keluarga dan masyarakat merupakan kesatuan integral yang secara proporsional mempunyai tanggung jawab bersama dalam pendidikan, termasuk dan khususnya, pendidikan agama. Peran serta yang terpadu tersebut bisa maksimal dengan memanfaatkan semua potensi yang ada. Seperti kebanyakan contoh yaitu guru agama yang memberikan tugas kepada siswa-siswinya dalam pelajaran agama. Menurut Imam Al-Ghazali, guru bagaikan mataharii yang terang dan menerangi jagad raya tanpa henti-hentinya dan tanpa pilih kasih. Guru juga ibarat bunga mawar yang harum semerbak dan menyebarkan harumnya pada orang lain.
Dewasa ini peradaban dunia yang berada di bawah cengkraman hegemoni AS belum menunjukkan tanda-tanda yang beradab. Ditengah gelap gulitanya peradaban dunia saat ini, dimana ciri-ciri jahiliyah itu tidak hanya menimpa negara adikuasa, tapi sudah turut mewarnai kebudayaan negeri ini. Yang menarik dari perkembangan disiplin ilmu-ilmu agama ini adalah ternyata bahwa disiplin ini justru membangkitkan ilmu-ilmu lain seperti sejarah dan sebagainya. Dan Seluruh ilmu-ilmu dalam Islam itu semakin hari semakin berkembang. Sebenarnya Islam pada dasarnya merekomendasikan persaudaraan kemanusiaan tanpa pandang bulu ras, kulut, agama, nasionalitas.
Adanya transformasi pendidikan Islam di Indonesia dari waktu ke waktu adalah sebagai produk interaksi misi Islam. Dimana sekolah menitik beratkan pada pendidikan umum, sedangkan pendidikan agama hanya sebagai bagian kecil dari kurikulumnya. Maka dari itu, Departemen Agama akan berupaya untuk  terus mengejar ketertinggalan madrasah dari pendidikan umum dalam peningkatan mutu madrasah. Misalnya dengan pengadaan dan peningkatan kualitas guru yang relevan dengan bidang studi, peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan lainnya.
Pada masa Nabi SAW, pengajar umat pada masa itu tak lain adalah Nabi SAW sendiri, yamg menerima ilmu dari Sang Maha Guru (Allah SWT), melalui wahyu yang turun disaksikan oleh para murid.  Nabi SAW  sendiri menamakan zaman itu khar al-qurun (kurun terbaik); ‘sebaik baik masa adalah masa dimana orang bisa hidup bersamaku, generasiku’ itu dalam upaya mereguk ajaran berkualitas, yakni al-Qur’an dan hadits. Respons muhadditsun bagi kehidupan umat, berupa mengkawal otentitas hadits, baik dalam statusnya sebagai sumber ajaran yang mesti dilestarikan maupun dari wacana yang dapat membuat umat meragukan otentitas hadits sehingga membuatnya surut dalam beramal.
Dalam buku yang ditulis oleh para guru besar IAIN Walisongo Semarang ini, diungkapkan bahwa dalam pendidikan, termasuk pendidikan agama, banyak jenis sikap positif yang perlu dikembangkan oleh guru, diantaranya adalah sikap terhadap pelajaran, sikap terhadap belajar, sikap terhadap diri, sikap terhadap mereka yang berbeda dari siswa, atau yang harus diminimalisir karena berupa sikap negative, yaitu prasangka (prejudice) terhadap kelompok (agama) lain, yang merupakan ujung lain dari toleransi. 
Buku ini sangatlah menarik untuk dibaca. Menurut saya, buku ini hendaknya menjadi buku bacaan wajib setiap mahasiswa, para guru maupun dosen dan bahkan praktisi pendidikan yang mendalami tentang Pendidikan Agama Islam. Buku ini juga dapat membantu mahasiswa dalam melakukan penelitian tentang keislaman.

Pendidikan Anti Korupsi untuk Mahasiswa



Oleh : Wardah Ainur Rizqi (133111068) - PAI 1B                 

                Korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum dengan maksud memperkaya diri atau orang lain yang dapat merugikan keungan Negara. Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang sangat kompleks bahkan sepertinya sudah melekat ke dalam sistem dan menjadi bagian dari operasional sehari-hari dan sudah dianggap hal yang lazim. Pendidikan adalah salah satu penuntun generasi muda untuk menuju ke jalan yang benar dan sebagai salah satu tonggak kehidupan masyarakat demokrasi yang madani. Sudah sepantasnya jika pendidikan mempunyai peran dalam hal pencegahan korupsi.

                 Pendidikan anti korupsi sangatlah penting untuk mencegah tindak pidana korupsi, dan mencegah adanya koruptor. Seperti halnya pelajaran akhlaq dan moral, pelajaran tersebut penting untuk mencegah terjadinya kriminalitas. Korupsi tidak hanya berhubungan dengan uang semata, tetapi dapat merambah dalam segala hal bidang kehidupan, misalnya tenaga, jasa dan sebagainya.

                 Di mata dunia, bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat dunia, memiliki citra buruk akibat korupsi yang menimbulkan kerugian. Hal tersebut membuat rasa rendah diri saat harus berhadapan dengan Negara lain dan hal tersebut bisa menghilangkan rasa kepercayaan oleh pihak lain. Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk memerangi korupsi dengan berbagai cara. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang notabenenya menjadi lembaga independen yang khusus menangani tindakan korupsi, ternyata sampai saat ini belum bisa membuktikan kinerjanya yang maksimal.

                 Upaya pemberantasan korupsi itu sendiri tidak akan pernah berhasil jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja yakni pemerintah. Tetapi peran serta masyarakat juga salah satu bagian penting yang merupakan penerus masa depan yang dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

                 Peran mahasiswa yang merupakan agent social of change dan motor penggerak diharapkan bisa lebih fokus pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di kalangan masyarakat. Mahasiswa butuh bekal pengetahuan yang banyak tentang korupsi dan pemberantasannya. Serta yang tak kalah penting, mahasiswa dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

                 Mahasiswa dapat mempunyai berbagai bekal dengan berbagai cara, semisal melalui kegiatan kampanye, sosialisasi, seminar atau dalam perkuliahan. Pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa sebenarnya bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan menanamkan nilai-nilai anti korupsi, dengan adanya budaya anti korupsi di kalangan mahasiswa diharapkan dapat mendorong dan berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

                 Korupsi di negeri ini, memang sedang merajalela dan bahkan menjadi suatu kebiasaan. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah dalam menangani kasus korupsi dan hukum yang begitu tegas. Namun, tetap saja masih ada korupsi di negeri tercinta ini. Salah satu alasan seseorang berani melakukan korupsi adalah kurangnya kesadaran pribadi tentang bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa menyadarkan para pelaku koruptor karena mereka sudah terlanjur terbiasa dengan tindakan kejinya tersebut.

                 Jadi, salah satu upaya jangka panjang yang terbaik untuk mengatasi korupsi adalah dengan memberikan pendidikan anti korupsi secara dini terhadap para generasi muda sekarang. Karena generasi muda adalah generasi penerus yang akan menggantikan kedudukan para pejabat nantinya. Dan generasi muda sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Jadi, kita lebih mudah mendidik dan mempengaruhi generasi muda khususnya mahasiswa agar tidak melakukan tindakan korupsi sebelum mereka lebih dulu dipengaruhi oleh “budaya” korupsi dari generasi pendahulunya.

Sabtu, 18 Januari 2014

Hukum Menabuh Rebana / Hadhrah / Terbangan

Musik adalah suatu hal yang sudah menjadi konsumsi kita sehari-hari, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kebutuhan primer. Muncul beragam pertanyaan-pertanyaan dalam fikiran kita tentang status hukum Musik dalam Islam. Semisal:

“Bagaimanakah hukumnya dengerin musik? Sebenernya Musik Islami itu yang bagaimana sih, apakah yang tidak memakai instrumen-instrumen musik seperti gitar dll.? Kalau menurut Islam bagaimana, bolehkan kita menyanyi atau mendengarkan musik?”









Berikut adalah jawaban KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dari pertanyaan-pertanyaan di atas:

“Masalah nyanyian atau musik dan mendengarkannya merupakan masalah yang sejak lama diperdebatkan. Ada yang mutlak mengharamkannya, ada yang mutlak memperbolehkannya, ada yang merinci dari segi kondisi yang menyertainya; haram dalam kondisi tertentu dan boleh dengan syarat-syarat tertentu.

Imam Ghazali dalam kitab “al-Ihyaa’”nya secara panjang lebar membahas masalahini dengan mengetengahkan argumen-argumen pihak yang mengharamkan dan pihak yang memperbolehkan.

Ahli hadits, Imam al-Hafidz Abul Fadhal Muhammad bin Thahir al-Muqaddasi bahkan menyusun kitab khusus dimana secara terperinci beliau mengupas persoalan sekitar nyanyian, musik dan alat-alat musik; memainkannya maupun mendengarkannya. Al-Muqaddasi dalam pembahasannya itu, menyampaikan argumentasinya dan seklaigus mematahkan argumen-argumen pihak yang mengharamkan terutama dari sudut ilmu hadits.

Pihak yang mengharamkan nyanyian dan mendengarkannya, umumnya mendasarkan hujjahnya pada ayat-ayat yang mengecam:

1. Al-Laghwu: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. al-Mukminun ayat 3).

2. Al-Lahwu: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS Luqman ayat 6).

3. Az-Zuur: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu (oang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. al-Furqan ayat 72).

“Al-Laghwu”, “al-Lahwu” dan “az-Zuur” oleh sementara mufassir ditafsirkan “al-Ghina” atau nyanyian/musik. Termasuk lafal-lafal lain seperti dalam QS. al-Isra’ ayat 64 yang ditafsirkan demikian. Juga mendasarkan pada beberapa hadits Nabi, ucapan-ucapan sahabat dan fatwa-fatwa ulama yang mencela al-Ghinaa. Menurut pihak ini, nyanyian dapat membuat orang lupa kewajiban kepada Allah.

Sedangkan pihak yang menghalalkan atau memperbolehkan nyanyian dan mendengarkannya berpedoman pada patokan bahwa segala sesuatu itu halal sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu itu adalah Allah melalui Rasulullah Saw.

Menurut pihak ini, dalam al-Quran tidak ada larangan menyanyi atau mendengarkan nyanyian. Tafsir perorangan, kecuali dari Rasulullah Saw. adalah tafsir yang tidak dapat dijadikan dasar. Sedangkan hadits-hadits yang dikemukakan pihak yang mengharamkan pun, seperti dikatakan al-Muqaddasi, tidak memenuhi syarat untuk menjadi dasar hukum, seperti terdapat cacat dalam sanadnya.

Pihak ini juga mengetengahkan hadits-hadits untuk mendukung pendapatnya, seperti hadits Sayyidatina ‘Aisyah Ra. yang mengisahkan adanya dua gadis yang sedang menyanyi. Lalu sahabat Abu Bakar Ra. datang dan menegur: “Seruling setan di rumah Rasulullah Saw.?” Dan Rasulullah Saw. sendiri bersabda: “Ya Aba Bakrin, setiap kamu punya hari besar dan ini adalah hari besar kita.” Hadits ini dan semacamnya dianggap menunjukkan bahwa menyanyi dan mendengarkan nyanyian tidak dilarang.

Dalam kaitan ini, Imam Ghazali dalam kitabnya “al-Ihyaa’” mengatakan: “Ketahuilah bahwa ucapan pihak yang menyatakan, mendengar (nyanyian) hukumnya haram, artinya Allah akan menghukum orang yang mendengarkan (nyanyian). Dan ini merupakan hal yang tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal, tapi harus dengan sama’ (mendengar petunjuk Rasulullah Saw). Mengetahui ketentuan-ketentuan agama hanya dapat melalui nash atau qiyas (analog) terhadap hal-hal yang ada nashnya. Yang saya maksud dengan nash adalah apa yang ditunjukkan Rasulullah Saw. dengan ucapannya atau tindakannya. Sedangkan yang saya maksud dengan qiyas adalah makna yang dapat dipahami dari kata-kata dan perbuatannya. Apabila tidak ada nash dan qiyas pun tidak dapat diterapkan terhadapnya, maka pernyataan yang mengharamkannya adalah batal. Dan hal itu tetap merupakan perbuatan yang tidak apa-apa sebagaimana hal-hal lain yang diperkenankan. Seperti saya kemukakan ketika menjawab dalil pihak-pihak yang cenderung mengharamkan, tidak ada dalil nash atau qiyas yang menunjukkan dilarangnya mendengarkan (nyanyian). Sebenarnya dengan mematahkan argumen-argumen pihak yang mearang sudah cukup memadai, namun kami ingin menambahkan dengan mengatakan bahwa baik nash maupun qiyas keduanya telah menunjukkan diperbolehkannya.”

Untuk tidak bertele-tele, biar saya ringkaskan begini: “Umumnya yang mengharamkan nyanyian dan mendengarkan nyanyian itu melihat masalah dengan mengkaitkan faktor-fakotr di luar nyanyian dan mendengarkan nyanyian itu sendiri, seperti yang menyanyi biduanita dengan pakaian dan sikap yang dilarang agama, mendengarkan nyanyian sambil minum minuman keras, mendengarkannya di lingkungan maksiat, mendengarkannya hingga lupa ibadah dan dzikir dan seterusnya. Sedangkan mereka yang menghalalkan semata-mata melihat masalahnya saja. 

Jadi bisa disimpulkan bahwa menyanyi atau mendengarkan nyanyian yang tidak terdapat di dalamnya faktor-faktor lain yang diharamkan agama seperti contoh yang sudah disinggung di atas, hukumnya boleh. Wallaahu A'lam.

MA'HAD AL-JAMI'AH WALISONGO SEMARANG