SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PEMBINAAN ILMU HADITS (MASA NABI, SAHABAT DAN TABIIN)
MAKALAH
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata kuliah: ULUMUL HADITS
Disusun oleh:
1.
Nur Hidayah (133111***)
2.
Wardah Ainur Rizqi (133111***)
3. Muhammad Yusrul Hana
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB
I
I.
PENDAHULUAN
Di
antara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan Hadits ini. Ada yang membaginya kepada tiga periode saja, seperti
masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an, dan masa setelah
tadwin. Ada yang membaginya kepada periodesasi yang lebih terperinci, sampai
lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi tertentu.
Terlepas
dari pendapat para ulama tentang periodesasi yang dikemukakan di atas, yang
perlu diuraikan secara khusus pada pembahasan di sini, ialah masa Rasul SAW,
masa sahabat, masa tabi’in, masa pentadwinan atau pembukuan, masa seleksi atau
penyaringan Hadist, serta masa sesudahnya.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dikemukakan sejarah pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits masa nabi,sahabat dan
tabiin.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu
hadits pada masa Nabi masih hidup, pada masa sahabat, dan pada masa tabiin?
B. Bagaimana perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan
ilmu hadits pada masa Nabi, masa Sahabat, dan masa tabiin?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada masa Nabi masih
hidup, pada masa sahabat, dan masa tabiin.
1.
Hadits pada
masa Rasul SAW
Periode Rasul SAW, merupakan periode pertama
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Periode ini terhitung cukup
singkat bila dibandingkan dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung
selama 23 tahun, mulai tahun 13 SH, bertepatan dengan tahun 610 M sampai dengan
tahun 11 H, bertepatan dengan tahun 632 M. masa ini merupakan kurun waktu turun
wahyu (ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai, masa pertumbuhan hadits.
Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW
berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan
terkait langsung dengan pribadi Rasul SAW sebagai sumber hadits.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya
dijelaskan-nya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan
(taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para
sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah
mereka. Rasul SAW merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena
ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang
berbeda dengan manusia lainnya.[1]
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat
sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tidak
ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang
tidak di benarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, ketika beliau
tidak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi tanpa hijab. Nabi
SAW bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, dan di dalam
safar dan di dalam hadhar. [2]
a.
Cara rasul SAW menyampaikan hadits
Allah
menurunkan al-Qur’an dan mengutus Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, da apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah
berfirma dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.
وَمَا يَنْتِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلّاَ
وَحيٌ يُوْحَى (النجم:٣-٤)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan
(kepadanya).” (QS.An-Najm: 3-4)
Ada beberapa cara rasul SAW menyampaikan
hadits kepada para sahabat, yaitu :
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya
yang disebut majlis al-‘ilmi. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW
juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang lain. Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul
SAW adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji
wada’ dan futuh makkah.
b.
Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadits
Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama
Rasul SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya
kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu
masuk islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.
c.
Menghafal dan Menulis Hadist
1)
Menghafal Hadist
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan
motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadist. Pertama, karena
kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak
praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasul SAW banyak
memberikan spirit melalui doa-doanya, Ketiga, seringkali ia menjanjikan
kebaikan akhiratkepada mereka yag menghafal hadist dan menyampaikannya kepada
orang lain.
2)
Menulis Hadist
Ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki
catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki
catatan-catatannya,ialah :
a.
Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w.78H).
ia memiliki catatan hadist dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya
kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahifah
Jabir.
b.
Abu Hurairah Al-Dausi (w.59 H). ia memiliki
catatan hadis yag dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya
ini diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.
c.
Mempertemukan Dua Hadist yan Bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadist
yang kelihatnnya terjadi kontradiksi, seperti pada hadist dari Abu Sa’id
Al-Hudri di satu pihak, dengan hadist dari Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash, di
pihak lain, yang masing-masing didukung oleh hadist-hadist lainnya, mengundang
perhatian para ulama untuk menemukan penyelesainnya. Di antara mereka ada yang
mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan
mansukh, dan ada yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga
keduanya tetap di gunakan (ma’mul).[3]
2.
Hadits pada
masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits
adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung
sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa
sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadits belum begitu
berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh
para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukka adnya pembatasan periwyatan (al-tasabbut
wa al-iqlal min al-riwayah).
a. Memelihara
Amanah Rasul SAW
Para
sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi
kelangsunga syariat Islam, adalah menerima dan melakukan segala amanah
Rasulullah. Amanah itu essensinya tertuang pada al-Qur’an dan Hadist,
sebagaimana Rasul berpesan :
(رواه البخارى) بَلِّغواعَنِّي وَلَوْآيَة
“Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat” (HR.Al-Bukhari dari Abdullah
bin Amr bin al-‘Ash)
b.
Kehati-hatian para sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadist
Setelah Rasul SAW wafat,
perhatian para sahabat terfokus pada usaha menyebarluaskan dan memlihara
al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dihafal oleh ribuan penghafalnya denga teratur
dan telah ditulis dalam berbagai shuhuf noleh
para penulisnya (baik untuk Nabi SAW sendiri maupun untuk kepentingan
masing-masing), mendapat prioritas utama untuk terus disebarkan ke berbagai
pelosok wilayah islam dan ke seluruh lapisa masyarakat.
Kehati-hatian dan usaha
membatasi periwayatan yang dilakukan
para sahabta, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan,
yang padahal mereka sadari bahwa Hadis merupakan sumber ajaran setelah
al-Qur’an yang juga harus tetap terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana
terpeliharanya al-Qur’an. Oleh karenanya para sahabat khususnya khulafa’ ar-rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti
az-Zubair, Ibn Abbas, dan abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan
dan penerimaan Hadist.
c.
Upaya para ulama men-taufiq-kan
Hadist tentang larangan menulis Hadist
Perselisihan para ulama dalam soal pembukuan Hadist berpangkal
pada adanya dua kelompok Hadist, yang dari sudut zhahirnya namapak adanya
kontradiksi. Kelompok Hadist yang pertama, menunjukkan adanya larangan Rasul
SAW menuliskan Hadis yang artinya :
“Janganlah kamu sekalian menulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Siapa
yang telah menulis dariku selain al-Qur’an hendaklah dihapus. Ceritakan saja
apa yang dterima dariku, itu tidak mengapa. Siapa yang dengan sengaja berdusta
atas namaku, ia niscaya menempati tempat duduknya dari api neraka.”
Sedangkan hadist kelompok
kedua, adalah beberapa hadist, seperti riwayat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash.
Hadist-hadist tersebut menunjukkan adanya perintah Rasul SAW untuk menuliskan
hadis-hadis daripadanya.[4]
3. Hadist pada masa Tabiin
a. Masa
Keseimbangan dan Meluas Periwayatan Hadist
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah
usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya
ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawata-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H, tentara islam
mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H
mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai di Samarqand. Pada
tahun 93 H tentara islam menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat
itu. Kota-kota itu kemudian menjadi “perguruan” tempat mengajarkan al-Qur’an
dan al-Hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang
hadits.[5]
b. Lawatan
Para Sahabat untuk Mencari Hadits
Dalam fase ini, hadits mulai disebarkan
dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai
memeberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabi’in berusaha
menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan
mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la (sebelum meninggal).
Demikian pula berita tentang kunjungan seorang shahaby ke sebuah kota,
sungguh menarik perhatian para tabi’in. Ketika mengetahui kedatangan
seorang shahaby, mereka berkumpul di sekitarnya untuk menerima hadits
yang ada pada shahaby tersebut.
c.
Sahabat-sahabat
yang mendapat julukan “Bendaharawan Hadist”
Dalam fase
ini terkenal beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits”, yakni
orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits. Mereka memperoleh
riwayat-riwayatnya yang banyak itu karena:
Pertama,
yang paling awal masuk islam, seperti Khulafa’ Rasyidin dan Abdullah ibn
Mas’ud. Kedua, terus-menerus mendampingi Nabi SAW dan kuat hafalan,
seperti Abu Hurairah. Ketiga, menerima riwayat dari sebagian sahabat
selain mendengar dari Nabi SAW dan panjang pula umurnya. Keempat, lama
menyertai Nabi SAW dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi SAW. Kelima, berusaha
untuk mencatatnya,seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash. Beliau meriwayatkan hadits
dalam buku catatananya yang dinamai Ash-Shadiqah.[6]
B.
Perbedaan antara
pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada masa Nabi, masa Sahabat, dan masa
tabiin.
a. Masa
Nabi
Ada
suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya, Yaitu
dari cara penyampaian nya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung
memperoleh hadits dari Rasul SAW sebagai sumber hadits , antara Rasul dengan
mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit
pertemuannya.
Pembinaan
hadits pada masa ini dilakukan dengan cara dihafalkan. Nabi melarang para
sahabat menuliskan hadits yang mereka dengar karena Nabi khawatir dalam catatan
sebagian sabda Nabi akan tercampur dengan firman Allah ( Al Qur’an ) yang pada
saat itu Al Qur’an lebih mendapat perhatian penuh dalam penulisannya.
Di riwayatkan oleh Muslim
dari Abu Said al-khudary
bahwa Nabi saw bersabda :
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
غَيْر عَنِّي كَتَبَ وَمَنْ الْقُرْآنِ لاَتَكْتُبُوْاعَنِّيْ غَيْرَ
“ Jangan kalian
tulis apa yang engkau dengar dariku, selain dari Al Qur’an. Barang siapa yang
telah menulis sesuatu selain dari Al Qur’an , hendaklah dihapuskan. “
Maka
dari itu pada masa ini Rasul lebih menekankan pada hafalan para sahabat dalam penyampaian
hadits kepada umat.[7]
b.
Masa Sahabat
Cara
penyampaian hadits pada masa ini adakalanya secara langsung atau tidak
langsung. Yang dimaksud secara langsung disini ialah para sahabat langsung
mendengar sendiri dari Nabi SAW , baik itu karena adanya persoalan yang
diajukan oleh seseorang kemudian Nabi menjawab atau bahkan Nabi sendirilah yang
memulai pembicaraan . sedangkan yang secara tidak langsung ialah ketika mereka
menerima hadits itu melalui sahabat yang telah menerima dari Nabi SAW.
Pembinaan
hadits pada masa ini dilakukan selain dengan cara dihafalkan, selain itu
juga ditulis pada pelepah daun, seperti
pelepah kurma dan dipohon-pohon.Diberitakan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzy dari
riwayat Zaid ibn Tsabit, bahwa Rasul bersabda :
سَامِعٍ
مِنْ
كمَاسمِع فرُبَّ مُبَلّغِ أوْعَيْ
“ Mudah-mudahan Allah mengindahkan
seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan
disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak
sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham daripada yang
mendengarnya sendiri”.[8]
Para sahabat membuka jalan
mencari hadits kepada umat sendiri. Mereka mengumpulkan sekedar kesanggupannya.
Dengan demikian pula tersusunlah segala sunnah. Lantaran itu, ada yang dapat
dinukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasul saw, dan sunnah-sunah yang bersih dari illat
( cacat ), ada yang hanya dihafal maknanya , telah dilupakan lafalnya dan ada
yang berselisih riwayat dalam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisih pula
perawinyatentang kepercayaan dan keadilan pemberitaannya. Itulah sunnah-sunnah
yang dimasuki illah.
Diantara para sahabat tidak
sama kadar perolehan dan penguasaan hadits. Ada yang memilikinya lebih banyak ,
tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama
, perbedaan mereka dalam soal kesempayan bersama Rasul SAW. Kedua ,
perbedan merka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga
, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal
dari masjid Rasul SAW.[9]
c.
Masa Tabiin
Sesudah
masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan
menghafal hadits serta menyebarkannya ke
masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits. [10]
Dalam fase ini , hadis mulai disebarluaskan dan
mulailah perhatian diberikan kepadanya dengan sempurna. Para tabiin mulai
memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabiin berusaha
menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan
mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la ( sebelum
meninggal ). [11]
Sebagaimana para sahabat , dikalangan tabiin , baik
tabiin besar maupun tabiin kecil ,juga melakukan dua hal yaitu : menghafal dan
menulis hadits. Banyak riwayat yang menunjukan bahwa mereka memperhatikan kedua
hal ini.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa
karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari masa Nabi sampai masa tabiin mengalami pasang
surut. Yaitu ada yang menggunakan metode hafalan, metode penyampaian dari
sahabat ke sahabat lainnya, dan juga metode pembukuan. Masing- masing metode
ini terus berkembang seiring perkembangan zamannya.
Selanjutnya perbedaan pertumbuhan
dan pembinaan ilmu hadits banyak di pengaruhi keadaan lingkungan sosial, budaya
dan politik pada masanya serta kebutuhan umat Islam akan perlunya ilmu hadits.
Demikianlah makalah ini kami buat , meskipun belum mencapai kesempurnaan. Selebihnya harapan kami, bisa ditambahkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Kami
ucapkan Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur Allah telah terselesaikan Tugas makalah kami.
Semoga dapat bermanfaat bagi pemakalah
khususnya dan pembaca umumnya. Amin yaa rabbal ‘alamin.
3 Prof.Dr.Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm.26
6 Prof.Dr.Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm.32
hemm...sip sip
BalasHapus