Selasa, 17 September 2013

Sejarah Perkembangan dan Pembinaan Ilmu Hadits



SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PEMBINAAN ILMU  HADITS (MASA NABI, SAHABAT DAN TABIIN)

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: ULUMUL HADITS
Pengampu: Drs. Ikhrom, M.Ag






Disusun oleh:
1.      Nur Hidayah                                           (133111***)
2.      Wardah Ainur Rizqi                                (133111***)
3.       Muhammad Yusrul Hana


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

BAB I



I.         PENDAHULUAN
            Di antara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan Hadits ini. Ada yang membaginya kepada tiga periode saja, seperti masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an, dan masa setelah tadwin. Ada yang membaginya kepada periodesasi yang lebih terperinci, sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi tertentu.
            Terlepas dari pendapat para ulama tentang periodesasi yang dikemukakan di atas, yang perlu diuraikan secara khusus pada pembahasan di sini, ialah masa Rasul SAW, masa sahabat, masa tabi’in, masa pentadwinan atau pembukuan, masa seleksi atau penyaringan Hadist, serta masa sesudahnya.
            Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikemukakan sejarah pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits masa nabi,sahabat dan tabiin.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada masa Nabi masih hidup, pada masa sahabat, dan pada masa tabiin?
B.  Bagaimana perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada masa Nabi, masa Sahabat, dan masa tabiin?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada masa Nabi masih hidup, pada masa sahabat, dan masa tabiin.
1.      Hadits pada masa Rasul SAW
Periode Rasul SAW, merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Periode ini terhitung cukup singkat bila dibandingkan dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 SH, bertepatan dengan tahun 610 M sampai dengan tahun 11 H, bertepatan dengan tahun 632 M. masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai, masa pertumbuhan hadits.
Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul SAW sebagai sumber hadits.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskan-nya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Rasul SAW merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.[1]
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak di benarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, ketika beliau tidak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi tanpa hijab. Nabi SAW bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, dan di dalam safar dan di dalam hadhar. [2]
a.         Cara rasul SAW menyampaikan hadits
                 Allah menurunkan al-Qur’an  dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, da apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirma dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.
وَمَا يَنْتِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلّاَ وَحيٌ يُوْحَى (النجم:٣-٤)
     “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya).” (QS.An-Najm: 3-4)
     Ada beberapa cara rasul SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu :
     Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makkah.
b.      Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadits
     Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.
c.       Menghafal dan Menulis Hadist
1)   Menghafal Hadist
     Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadist. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya, Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhiratkepada mereka yag menghafal hadist dan menyampaikannya kepada orang lain.
2)     Menulis Hadist
       Ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan-catatannya,ialah :
a.       Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w.78H). ia memiliki catatan hadist dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
b.      Abu Hurairah Al-Dausi (w.59 H). ia memiliki catatan hadis yag dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.
c.       Mempertemukan Dua Hadist yan Bertentangan
            Dengan melihat dua kelompok hadist yang kelihatnnya terjadi kontradiksi, seperti pada hadist dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadist dari Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash, di pihak lain, yang masing-masing didukung oleh hadist-hadist lainnya, mengundang perhatian para ulama untuk menemukan penyelesainnya. Di antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh, dan ada yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap di gunakan (ma’mul).[3]

2.      Hadits pada masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukka adnya pembatasan periwyatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
a.    Memelihara Amanah Rasul SAW
Para sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi kelangsunga syariat Islam, adalah menerima dan melakukan segala amanah Rasulullah. Amanah itu essensinya tertuang pada al-Qur’an dan Hadist, sebagaimana Rasul berpesan :
(رواه البخارى)   بَلِّغواعَنِّي وَلَوْآيَة
“Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat” (HR.Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash)
b.    Kehati-hatian para sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadist
Setelah Rasul SAW wafat, perhatian para sahabat terfokus pada usaha menyebarluaskan dan memlihara al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dihafal oleh ribuan penghafalnya denga teratur dan telah ditulis dalam berbagai shuhuf noleh para penulisnya (baik untuk Nabi SAW sendiri maupun untuk kepentingan masing-masing), mendapat prioritas utama untuk terus disebarkan ke berbagai pelosok wilayah islam dan ke seluruh lapisa masyarakat.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan  para sahabta, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa Hadis merupakan sumber ajaran setelah al-Qur’an yang juga harus tetap terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana terpeliharanya al-Qur’an. Oleh karenanya para sahabat khususnya khulafa’ ar-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti  az-Zubair, Ibn Abbas, dan abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan Hadist.
c.    Upaya para ulama men-taufiq-kan Hadist tentang larangan menulis Hadist
       Perselisihan para ulama dalam soal pembukuan Hadist berpangkal pada adanya dua kelompok Hadist, yang dari sudut zhahirnya namapak adanya kontradiksi. Kelompok Hadist yang pertama, menunjukkan adanya larangan Rasul SAW menuliskan Hadis yang artinya :
Janganlah kamu sekalian menulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang dterima dariku, itu tidak mengapa. Siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, ia niscaya menempati tempat duduknya dari api neraka.”
       Sedangkan hadist kelompok kedua, adalah beberapa hadist, seperti riwayat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash. Hadist-hadist tersebut menunjukkan adanya perintah Rasul SAW untuk menuliskan hadis-hadis daripadanya.[4]

3.      Hadist pada masa Tabiin
a.    Masa Keseimbangan dan Meluas Periwayatan Hadist
       Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawata-perlawatan untuk mencari hadits.
       Pada tahun 17 H, tentara islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H tentara islam menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudian menjadi “perguruan” tempat mengajarkan al-Qur’an dan al-Hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.[5]
b.    Lawatan Para Sahabat untuk Mencari Hadits
       Dalam fase ini, hadits mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai memeberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabi’in berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la (sebelum meninggal). Demikian pula berita tentang kunjungan seorang shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi’in. Ketika mengetahui kedatangan seorang shahaby, mereka berkumpul di sekitarnya untuk menerima hadits yang ada pada shahaby tersebut.
c.    Sahabat-sahabat yang mendapat julukan “Bendaharawan Hadist”
      Dalam fase ini terkenal beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits”, yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits. Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak itu karena:
Pertama, yang paling awal masuk islam, seperti Khulafa’ Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud. Kedua, terus-menerus mendampingi Nabi SAW dan kuat hafalan, seperti Abu Hurairah. Ketiga, menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari Nabi SAW dan panjang pula umurnya. Keempat, lama menyertai Nabi SAW dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi SAW. Kelima, berusaha untuk mencatatnya,seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash. Beliau meriwayatkan hadits dalam buku catatananya yang dinamai Ash-Shadiqah.[6]

B.       Perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada masa Nabi, masa Sahabat, dan masa tabiin.
a.    Masa Nabi
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya, Yaitu dari cara penyampaian nya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasul SAW sebagai sumber hadits , antara Rasul dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Pembinaan hadits pada masa ini dilakukan dengan cara dihafalkan. Nabi melarang para sahabat menuliskan hadits yang mereka dengar karena Nabi khawatir dalam catatan sebagian sabda Nabi akan tercampur dengan firman Allah ( Al Qur’an ) yang pada saat itu Al Qur’an lebih mendapat perhatian penuh dalam penulisannya.
Di riwayatkan oleh Muslim dari Abu Said al-khudary bahwa Nabi saw bersabda :
 الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ  غَيْر  عَنِّي  كَتَبَ  وَمَنْ الْقُرْآنِ لاَتَكْتُبُوْاعَنِّيْ غَيْرَ
  Jangan kalian tulis apa yang engkau dengar dariku, selain dari Al Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain dari Al Qur’an , hendaklah dihapuskan. “
Maka dari itu pada masa ini Rasul lebih menekankan pada hafalan para sahabat dalam penyampaian hadits kepada umat.[7]

b.   Masa Sahabat
Cara penyampaian hadits pada masa ini adakalanya secara langsung atau tidak langsung. Yang dimaksud secara langsung disini ialah para sahabat langsung mendengar sendiri dari Nabi SAW , baik itu karena adanya persoalan yang diajukan oleh seseorang kemudian Nabi menjawab atau bahkan Nabi sendirilah yang memulai pembicaraan . sedangkan yang secara tidak langsung ialah ketika mereka menerima hadits itu melalui sahabat yang telah menerima dari Nabi SAW.
Pembinaan hadits pada masa ini dilakukan selain dengan cara dihafalkan, selain itu juga  ditulis pada pelepah daun, seperti pelepah kurma dan dipohon-pohon.Diberitakan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzy dari riwayat Zaid ibn Tsabit, bahwa Rasul bersabda :
فَأَدّاَهَا  وَوَعَاهَا فَحَفظَهَا مَقَالَتي مِنّيْ سَمِع  اَ مْرأً  نَضَرَاللَّه
         سَامِعٍ مِنْ كمَاسمِع فرُبَّ مُبَلّغِ أوْعَيْ 
“ Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham daripada yang mendengarnya sendiri”.[8]
Para sahabat membuka jalan mencari hadits kepada umat sendiri. Mereka mengumpulkan sekedar kesanggupannya. Dengan demikian pula tersusunlah segala sunnah. Lantaran itu, ada yang dapat dinukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasul  saw, dan sunnah-sunah yang bersih dari illat ( cacat ), ada yang hanya dihafal maknanya , telah dilupakan lafalnya dan ada yang berselisih riwayat dalam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisih pula perawinyatentang kepercayaan dan keadilan pemberitaannya. Itulah sunnah-sunnah yang dimasuki illah.
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadits. Ada yang memilikinya lebih banyak , tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama , perbedaan mereka dalam soal kesempayan bersama Rasul SAW. Kedua , perbedan merka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga , perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.[9]

c.       Masa Tabiin
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits. [10]
Dalam fase ini , hadis mulai disebarluaskan dan mulailah perhatian diberikan kepadanya dengan sempurna. Para tabiin mulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabiin berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la ( sebelum meninggal ). [11]
Sebagaimana para sahabat , dikalangan tabiin , baik tabiin besar maupun tabiin kecil ,juga melakukan dua hal yaitu : menghafal dan menulis hadits. Banyak riwayat yang menunjukan bahwa mereka memperhatikan kedua hal ini.[12]

BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
            Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari  masa Nabi sampai masa tabiin mengalami pasang surut. Yaitu ada yang menggunakan metode hafalan, metode penyampaian dari sahabat ke sahabat lainnya, dan juga metode pembukuan. Masing- masing metode ini terus berkembang seiring perkembangan zamannya.
Selanjutnya perbedaan pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits banyak di pengaruhi keadaan lingkungan sosial, budaya dan politik pada masanya serta kebutuhan umat Islam akan perlunya ilmu hadits.

     Demikianlah makalah ini kami buat , meskipun belum mencapai kesempurnaan.  Selebihnya harapan kami, bisa ditambahkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Kami ucapkan Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur  Allah telah terselesaikan Tugas makalah kami. Semoga dapat bermanfaat bagi  pemakalah khususnya dan pembaca umumnya. Amin yaa rabbal ‘alamin.

1 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, hlm.49
2 Drs.Munzier Suparta,M.A, llmu Hadits, hlm.70-71
3 Prof.Dr.Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm.26
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm.71-78
[4] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hlm.54-59
[5] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis,halm.71
6 Prof.Dr.Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm.32
7 Drs.Munzier Suparta,MA, Ilmu Hadis, hlm.71-72

[8]  Prof.Dr.Teungku Muhammad Habsi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, hlm 36
[9] Drs.Munzier Suparta,MA, Ilmu Hadis, hlm.73
[10]  Prof.Dr.Teungku Muhammad Habsi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 45
[11] Ibid, hlm.46                                                                       
[12]  Drs.Utang Ranuwijaya,M.A. Ilmu Hadis ,hlm 64

1 komentar:

MA'HAD AL-JAMI'AH WALISONGO SEMARANG